Kota Palopo sudah tiga kali meraih Adipura, Selasa malam lalu, dilanda tsunami kecil dengan ketinggian air mencapai satu setengah meter. Banjir bandang yang oleh Wakil Walikota Palopo, Rahmat Masri Bandaso menyebutnya dengan istilah 'tsunami kecil' melanda Palopo, Selasa malam lalu, membawa trauma mendalam bagi warga di kota peraih Adipura tiga kali.Sekitar 2.000-an rumah warga terendam banjir. Ada yang rusak berat dan rusak ringan. Sejumlah fasilitas umum seperti sekolah, infrastruktur jembatan dan jalan rusak. Lebih mengenaskan lagi, seorang anak berusia empat tahun, tewas terseret arus, malam itu. Bila hujan turun, warga diliputi perasaan gelisah. Betapa tidak, banjir bukan lagi hal baru bagi masyarakat Palopo yang berpenduduk sekitar 130.000 jiwa. Boleh dikata, tidak ada lagi ketentraman. Yang ada hanya kecemasan. Sebab hampir setiap hujan yang turun bersamaan dengan air pasang di laut, pemukiman warga akan tergenang banjir. Baik itu banjir karena luapan air drainase yang penataannya sangat jelek atau luapan air sungai yang disertai lumpur. Untuk diketahui, terdapat tiga aliran sungai yang melintas di Palopo. Yakni, Sungai Latuppa, Sungai Mangkalaku, dan Sungai Salubattang.Namun ada yang rancu di sini. Karena Sungai Latuppa yang berhulu di Latuppa, ketika melintas di dalam kota, sudah berubah nama. Misalnya di Pajalesang, sungai ini disebut Sungai Pajalesang. Di Amassangan pun begitu, dinamakan Sungai Amassangan. Lalu hilirnya di wilayah pesisir disebut Sungai SalotelluE. Sebenarnya, Sungai Pajalesang, Sungai Amassangan, dan SalotelluE hanya satu, yakni Sungai Latuppa. Begitu pula Sungai Mangkaluku. Di wilayah Boting, namanya Sungai Boting. Tak sampai seratus meter, namanya lain lagi, yakni Sungai Salobulo. Terus ke wilayah pantai, namanya Sungai Penggoli.Ada baiknya, nama yang beragam ini diseragamkan saja namanya menjadi Sungai Mangkaluku karena hulunya ada di Mangkaluku. Begitu pula Sungai Pajalesang, Amassangan, dan Salotellu dipatenkan menjadi Sungai Latuppa. Tujuannya, tentu agar tidak menimbulkan kebingungan.Kembali ke persoalan banjir. Penyebab banjir yang telah menjadi langganan tetap masyarakat Palopo, masih kontroversi. Pemerintah setempat mengatakan, banjir bandang yang melanda Selasa malam lalu, merupakan banjir kiriman dari Bastem. Sebuah kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Luwu, tetangga sekaligus saudara tua Kota Palopo. Kondisi hutan di wilayah Bastem sangat memprihatinkan. Terjadi penggundulan hutan yang sangat parah. Sehingga setiap hujan, terjadi longsor baik longsoran kecil maupun besar. Kemudian, sebagian masyarakat berpendapat, banjir itu merupakan dampak dari aktivitas tambang emas di wilayah Siguntu, sebuah lingkungan di daerah pegunungan Kelurahan Latuppa, Kecamatan Mungkajang.Sebagai gambaran, memasuki bulan puasa 2008, kru Harian Palopo Pos, ada juga wartawan Fajar rekreasi di kilometer 9 Latuppa. Di sini terdapat pertemuan dua sungai. Satu aliran sungai dari Bastem, warnanya kecoklatan alias keruh karena bercampur lumpur. Bertemu dengan Sungai Latuppa dengan kondisi air jernih. Sangat kontras memang. Tapi itu realita yang terlihat secara kasat mata.Kerusakan hutan di Bastem sudah lama dikeluhkan manajemen PDAM Palopo. Karena bila hujan, maka air baku PDAM yang sebagian besar berasal dari sejumlah anak sungai di Bastem, keruh bercampur lumpur. Makanya, sangatlah ironis ketika pada musim hujan yang seyogyanya air melimpah, justru terjadi krisis air PDAM. Masalah ini sudah seringkali dikomunikasikan oleh Pemkot Palopo dengan Pemkab Luwu. Tapi hasilnya, nihil. Mumpung Pemkab Luwu dan Pemkot Palopo masih memiliki hubungan emosional yang masih sangat kental, maka ada baiknya dua bersaudara yang masih bersebelahan rumah ini, duduk satu meja membicarakan solusi penanganan banjir Palopo dan kerusakan hutan Bastem. Paling tidak, sharing anggaranlah atau bikin program kerja bersama untuk diajukan ke Gubernur atau pemerintah pusat. Siapa tahu dibantu. Bantuka CS... (*)
Sumber : Palopopos
1 komentar:
Pak panjang sekali beritanya. Bosan jadinya....
Posting Komentar